Jakarta – Laporan anggota DPR Andre soal dugaan predatory pricing semen asal China di pasar semen nasional ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mulai disidangkan. Namun politikus Gerindra itu memprotes lambatnya proses laporan yang sudah masuk sejak Agustus 2019. “Butuh 320 hari atau 10 bulan lebih bagi KPPU untuk memproses laporan ini dari pertama kali dilaporkan sampai ke persidangan. Lantas berapa lama lagi proses persidangan sampai putusan?” ujar Andre dalam keterangannya Sabtu (27/6/2020). Apa yang disampaikan Andre ini persis merujuk pada pernyataannya dalam rapat dengar pendapat KPPU bersama Komisi IV, Kamis (25/6).
Andre mempertanyakan kinerja KPPU. Padahal, di satu sisi, sifat pasar begitu dinamis.
“Hal ini menunjukkan kinerja komisioner KPPU yang tidak kompeten. Kita tahu bahwa pasar adalah tempat yang sangat dinamis, semakin lamanya proses dari laporan hingga putusan akan membuat kerugian semakin besar,” ungkap Andre.
Andre pun menyoroti anggaran KPPU. Dia meminta anggaran untuk lembaga ini dipertimbangkan kelayakannya.
“Untuk itu terkait dengan RKA/KL dan RKP/KL KPPU di 2021 saya perlu tegas memberikan masukan kepada pimpinan agar Komisi VI benar-benar memperhatikan anggaran untuk KPPU ini. Apa layak tetap diberikan anggaran atau kita tunda pembahasannya,” tuturnya.
Dia kemudian meminta para komisioner KPPU mundur jika memang sadar tidak kompeten. Menurutnya, industri semen nasional bisa bangkrut apabila kinerja KPPU lambat.
“Kalau nggak mampu, mundur! Jangan nggak bekerja! Negara ini bisa rugi, Pak, bangkrut industri semen nasional kita,” ujar Andre dengan nada berapi-api.”Saran saya, Bapak mundur saja komisioner-komisionernya, kita pilih komisioner baru yang kompeten. Kita butuh orang yang bekerja, Pak. Yang Merah Putih. Untuk kepentingan bangsa dan negara,” tegasnya.
Namun Ketua KPPU Kurnia Toha memberikan penjelasan. Dia menjelaskan duduk permasalahan dari lambatnya proses laporan ini.
“Kita ini bukan research, ini lagi penyelidikan. Oleh sebab tuh pengumpulan bukti. Kami sudah mengeluh berapa kali bahwa KPPU mengerjakan hukum, tapi kewenangan di pasar,” ujar Kurnia Toha di hadapan para anggota Komisi IV.
Dia mengatakan bahwa kewenangan KPPU terbatas. Mereka tak punya kewenangan menggeledah atau bahkan menyita.
“Kami nggak bisa menggeledah, kami nggak bisa menyita, kami nggak bisa membuka surat. Jadi yang kami harap, pengakuan dari pelaku pasar. Di situ kesulitannya,” tuturnya.
Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa tertundanya sidang laporan ini juga karena imbas COVID-19. “Sebelum COVID-19 sudah masuk ke penyelidikan. Begitu COVID, kita setop. Nggak bisa sidang. Bagaimana kita bisa memanggil pelaku usaha, saksi, nggak bisa. Harusnya ini sudah selesai,” jelasnya.
Dia menuturkan, akibat tertundanya sidang, KPPU pun belum bisa bekerja. Menurutnya, inilah yang menjadi pangkal masalah lambatnya proses kasus ini. Dia pun mendorong agar DPR segera melakukan amandemen UU tentang KPPU. Bahkan persoalan pengunduran diri baginya adalah hal mudah.
“Kalau soal mundur, ini masalah gampang. Saya siap mundur,” tegas Kurnia Toha.
Untuk diketahui, masalah ini bermula ketika pada 8 Agustus 2019 Andre membuat laporan ke KPPU terkait dugaan adanya praktik jual rugi (predatory pricing) atau pelanggaran terhadap pasal 20 UU 5/1999 tentang Larangan terhadap Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Saat itu dia melaporkan dugaan pelanggaran ini bersama-sama dengan Federasi Serikat Pekerja-Industri Semen Indonesia (FSP-ISI).
Sinyal jual rugi yang dilakukan oleh Semen China diindikasikan dengan perbedaan harga yang sangat jauh antara produk semen lokal dan semen pabrikan China padahal komponen bahan, sistem pembuatan, dan biaya produksi relatif sama.
Selanjutnya, 26 Agustus 2019 Andre diundang oleh KPPU untuk melakukan klarifikasi soal laporan ini. Pada saat itu Andre juga melampirkan tambahan barang bukti. Namun, menurut pengakuan Andre, hingga 18 Juni 2020 perkembangan proses laporan ini belum ada.
Update laporan baru muncul di laman situs KPPU per 23 Juni 2020. KPPU dalam pernyataannya bahwa sidang pemeriksaan laporan ini bari dimulai dengan terlapor PT Conch South Kalimantan Cement.
Pada sidang tersebut, investigator penuntutan KPPU menjelaskan pasar bersangkutan yang dimaksud pada perkara ini adalah penjualan semen jenis portland composite cement (PCC) di wilayah Kalimantan Selatan.
KPPU menjelaskan dalam hal ini PT Conch South Kalimantan Cement memasuki pasar penjualan semen jenis PCC di Kalimantan Selatan sejak 2014. Upaya PT Conch South Kalimantan Cement mulai intensif dilakukan sejak 2015 melalui penetapan harga yang sangat rendah yang berakibat pada terjadinya peningkatan pangsa pasar terlapor hingga mencapai di atas 40 persen.
Kondisi ini, lanjut KPPU, nyatanya diikuti dengan penurunan pangsa pasar pesaing, bahkan telah terdapat pelaku usaha yang keluar dari pasar penjualan semen di Kalimantan Selatan.
Agenda sidang selanjutnya, yakni pemeriksaan pendahuluan II, akan dilakukan dengan agenda penyampaian tanggapan PT Conch South Kalimantan Cement atas laporan dugaan pelanggaran yang disampaikan investigator penuntutan.
(rdp/fjp)
Sumber : Detik.com · 27 Juni 2020